Minggu, 02 November 2008

JAYA SUPRANA

 
 
  
 rpr intisari 
 Nama:
Jaya Suprana
Lahir:
Bali, Denpasar, 27 Januari 1949
Isteri:
Julia Suprana
Ayah:
Lambang Suprana
Ibu:
Lily Suprana
Pendidikan:
Lulusan Musikhochschule Muenster dan Folkwanghochschule Essen, Jerman
Prestasi:
Seni musik: Freundeskreis des Konservatoriums Muenster, Jerman, dan dari Pangeran Bernhard, Belanda.
Kebudayaan: Budaya Bhakti Upapradana
Komputer, Best in Personal Computing Award 1995 dari Apple Macintosh Inc.
Industri-bisnis: The Best Executive Award 1998
Prestasi perusahaan: Trade Leader's Club, Madrid, dan Institut pour Selection de la Qualite, Belgia)
Lingkungan hidup: Sahwali Award 1997
Kemanusiaan: Duta Kemanusiaan 1991-1992 Palang Merah Indonesia
Tokoh Humor Nasional 1996, pilihan pembaca majalah Humor

 
   

Si Multitalent 

Pencetus Kelirumologi


Jaya Suprana, orang Tionghoa yang 

besar dalam budaya Jawa. Pria 

bertubuh tambun dan berkacamata 

tebal yang lahir di Bali, Denpasar, 

27 Januari 1949 ini akrab di hadapan 

publik lewat acara televisi Jaya Suprana 

Show di TPI. Pendiri Museum Rekor MURI 

dan pencetus kelirumologi ini mempunyai 

beragam predikat – mulai dari pengusaha, 

pembicara, presenter, penulis, kartunis, 

pemain piano hingga pencipta lagu – yang 

diakui oleh lembaga tingkat dunia seperti 

Die Welt, Los Angeles Times, 

The Guardian, Wall Street Journal, 

dan Straits Time.


Semasa muda, Jaya pernah menjadi 

pedagang buku bekas di Semarang pada 

tahun 65-an. Bahkan ketika sekolah di 

Jerman ia tak sungkan menjadi tukang 

bubut, tukang pasang ubin, atau menjadi 

pegawai kafetaria mahasiswa. Sepulang 

belajar di Jerman ia sempat menjadi 

Manajer Pemasaran Jamu Jago, 

sebelum naik jabatan sebagai 

presiden direktur.

 

Setelah sekitar delapan tahun menjadi 

direktur di perusahaan jamu yang 

diwarisinya dari keluarga - yang berdiri 

sejak tahun 1918 - Jaya beralih ke posisi 

presiden komisaris. Kini, tugasnya hanya 

mengarahkan GBHP (Garis Besar Haluan 

Perusahaan) dan mengawasi kinerja 

perusahaannya.


Dalam berbagai kesempatan, Jaya selalu 

muncul bersama tokoh-tokoh politik kelas 

wahid di negeri ini. Meskipun begitu, Jaya 

tidak tertarik pada urusan politik. 

Di samping itu, ayahnya juga pernah 

berpesan agar Jaya tidak terjun ke dunia 

politik karena politik pada prakteknya justru 

sering menjadi berhala dan menguasai 

makhluk tertinggi ciptaan Tuhan itu.


Pada 27 Januari 1990, ia mendirikan 

Museum Rekor Indonesia (MURI) 

sebagai bagian dari visi ke depannya 

untuk menghimpun semua prestasi, 

perilaku, dan kegiatan yang unik, langka, 

dan kreatif. Museum yang selokasi dengan 

Museum Jamu Jago ini sudah menjadi 

objek wisata resmi Kota Semarang, 

Jawa Tengah.


Sebagai seorang pemikir dan penulis, 

Jaya mengobok-obok berbagai literatur 

dan media untuk mempelajari kekeliruan 

dan kesalahkaprahan yang telah dilakukan 

orang dalam kehidupan sehari-hari. 

Hingga akhirnya, ia memelopori istilah 

kelirumologi dan melahirkan buku berjudul 

Kaleidoskopi Kelirumologi, yang mengajak 

pembaca untuk lebih peka terhadap hal-hal 

yang dianggap benar padahal 

salah di tengah-tengah masyarakat.

 Misalkan saja, semboyan yang dipercaya 

masyarakat - mens sana in corpore sano 

(di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa 

yang sehat). Jaya mengatakan bahwa 

di dalam tubuh yang sehat, belum tentu 

hadir jiwa yang sehat. Jaya memberi 

contoh Mike Tyson atau penghuni 

Rumah Sakit Jiwa, bertubuh sehat tapi 

jiwanya sakit.


Berkat kerja keras dan ketekunannya, 

ia memperoleh puluhan penghargaan 

nasional maupun internasional dalam 

bidang seni musik (dari Freundeskreis 

des Konservatoriums Muenster, Jerman, 

dan dari Pangeran Bernhard, Belanda), 

kebudayaan (Budaya Bhakti Upapradana), 

komputer (Best in Personal Computing 

Award 1995 dari Apple Macintosh Inc.), 

industri-bisnis 

(The Best Executive Award 1998), 

prestasi perusahaan 

(Trade Leader's Club, Madrid, dan Institut 

pour Selection de la Qualite, Belgia), 

lingkungan hidup (Sahwali Award 1997), 

kemanusiaan (Duta Kemanusiaan 

1991 - 1992 Palang Merah Indonesia), 

dan lain-lain.


Sebagai kartunis, lulusan Musikhochschule 

Muenster dan Folkwanghochschule Essen, 

Jerman ini telah menggelarkan karyanya 

di Jerman, Norwegia, dan Indonesia sendiri. 

Sedangkan untuk urusan musik, selama ini 

Jaya dikenal sebagai komponis dan pianis 

andal yang sudah tampil di berbagai negara 

di Eropa, Amerika, Aljazair, Selandia Baru, 

dan lain-lain.

 

Pendidikan musik yang ditekuninya selama 

lima tahun membuat Jaya mampu 

melahirkan karya-karyanya sendiri. 

Ia tampil pertama kali dalam resital piano

 tunggal tahun 1981 di Taman Ismail Marzuki. 

Penampilan keduanya digelar 

di Erasmus Huis untuk merayakan 50 tahun 

usia Yayasan Pendidikan Musik (YPM). 

Di bidang kemanusiaan, ia ikut memelopori 

program donor ginjal jenazah di Indonesia. 
Pada pertengahan 2003 lalu, 

Jaya memelopori iklan layanan masyarakat 

‘Indonesia Pusaka’ dan membuat program 

berdurasi 60 menit ‘Di Balik Adegan 

Indonesia Pusaka’ yang ditayangkan di TPI 

di rumah produksi Jatayu Cakrawala Film.


Iklan layanan masyarakat ‘Indonesia Pusaka’ 

yang dibuat dalam rangka menyambut 

Satu Abad Bung Hatta ini merekam lebih 

dari 20 figur, sebagian tokoh ternama, 

menyanyikan lagu kesayangan Bung Hatta, 

yakni Indonesia Pusaka ciptaan 

Ismail Marzuki. Tokoh-tokoh ternama 

yang berhasil ‘dikumpulkan’ oleh Jaya 

antara lain Presiden Megawati Soekarnoputri, 

mantan Presiden Abdurrahman Wahid, 

Ketua MPR Amien Rais, dan sejumlah 

menteri dan mantan menteri.

 

Sementara dari nonpejabat ada artis 

Nurul Arifin, Marisa Haque, peharpa 

Maya Hasan, violis Idris Sardi, Ketua 

Persatuan Tukang Becak Jakarta, dan 

seorang wanita pemulung. Termasuk juga 

putri Bung Hatta, yakni Halida dan Gemala.

 Waktu itu, pada setiap sesi rekaman 

masing-masing tokoh, Jaya sibuk pula 

berfungsi sebagai pelatih menyanyi kilat, 

konduktor, penata musik, sekaligus editor.


Kini, di usianya yang semakin senja, 

tanpa seorang anak, Jaya tetap berkarya, 

berbuat kebaikan dan suka memberi. 

Ia mengangkat anak asuh dan mendirikan 

Panti Asuhan Rotary-Suprana. Di atas 

tanah warisan almarhumah ibunya, 

Lily Suprana, seluas 900 m2 di kawasan 

Candi Baru, Semarang, kini tinggal sekitar 

10 orang anak. Semuanya lelaki. 

Perkembangan panti yang biaya 

operasionalnya didukung bersama dengan 

Yayasan Rotary ini memang bagus karena 

kebanyakan anak asuhnya memperoleh 

ranking di kelasnya masing-masing. 

Bahkan bagi anak yang mendapat rangking 

1 diberikan hadiah atas prestasinya itu. 

Sifat suka memberi tidak lepas dari 

didikan keras sang ayah, Lambang Suprana, 

yang mengajarnya untuk tidak 

memberhalakan kekayaan dan sadar 

bahwa harkat dan martabat manusia bukan 

diukur dari kekayaan harta bendanya, 

namun dari kekayaan akhlak dan imannya. 

Itulah mengapa, Jaya tidak ambil pusing 

tentang masa tuanya, karena ia tinggal 

‘menunggu mati’ saja dan siap 

pergi ke surga.


Mengenai kesuksesan yang diperolehnya, 

Jaya mempunyai pandangan sendiri. 

Menurutnya, kesuksesan baginya belum 

tentu kesuksesan bagi orang lain. Ia 

menganalogikannya dengan olahraga lari. 

Baginya, ia sudah termasuk sukses mampu 

berlari 100m dalam waktu 10 menit, 

namun bagi Carl Lewis itu merupakan 

prestasi memalukan. Oleh karena itu, 

Jaya mengatakan bahwa yang penting 

bukan merasa sukses, melainkan 

mensyukuri hasil karya yang 

telah ia perjuangkan.
 

Tidak ada komentar: