Minggu, 02 November 2008

ARIFIN PANIGORO


  
 rpr tiara 
 Nama :
Arifin Panigoro
Lahir:
Bandung, 14 Maret 1945
Agama:
Islam
Isteri:
Raisis A Panigoro
Anak:
Maera Hanafiah
Yaser Mairi
Pendidikan: 
Lulusan Jurusan Elektro, Institut Teknologi Bandung, 1973
Mengikuti Senior Executive Programme Institute of Business Administration di Fountainebleau, Prancis yang dikoordinir oleh Kadin, 1979

Pengalaman Kerja :
:: PT Meta Epsi Duta Corporation (Komisaris Utama), sejak 1989
:: PT Inti Persada Multi Graha (Presiden Direktur), sejak 1994
:: PT Meta energi Petrasanga (Komisaris), sejak 1994
:: PT Energi Patranagari (Komisaris), sejak 1994
:: PT Apexindo Pratama Duta (Komisaris) sejak 1987
:: PT Citra Panji Manunggal (Komisaris Utama) sejak 1987
:: PT Meta Epsi Engineering (Komisaris Utama) sejak 1983
:: PT Meta Epsi Antareja Drilling Co.(Komisaris Utama) sejak 1983
:: PT Bina Karya Pariwisindo (Komisaris) sejak 1981
:: PT Meta Epsi Sarana Graha (Presiden Komisaris) sejak 1994
:: PT Meta Epsi Agro (Komisaris) sejak 1994

Jabatan Politik:
Ketua Fraksi PDI-P MPR RI 2002-2003

Organisasi :
:: Yayasan Padamu Negeri (Ketua Umum) 1991-sekarang,
:: Ikatan Alumni Elektro ITB (Ketua I ) 1989-sekarang,
:: Persatuan Insinyur Indonesia (Ketua Umum) 1994
:: Ketua DPP PDI-Perjuangan 1999

Alamat Rumah:
Jalan Jenggala, Kebayoran Baru.
 
   

Simbol Kebangkitan 

Politik Pengusaha


Sebelum Orde Baru tumbang tahun 1998, 

nama Arifin Panigoro hanya dikenal 

kalangan terbatas sebagai pengusaha 

di bidang perminyakan. Lingkaran 

pergaulannya lebih banyak dengan 

Pertamina dan pengusaha perminyakan 

internasional. Namun, ketika reformasi 

tengan “hamil tua” yang ditandai dengan 

maraknya aksi demonstrasi mahasiswa, 

kesadaran politik Arifin bangkit. Ia telah 

menjadi simbol kebangkitan 

politik pengusaha.

Tidak hanya itu, ia turut serta secara aktif 

membantu pergerakan mahasiswa, 

termasuk menyiapkan nasi bungkus untuk 

dikirim kepada mahasiswa yang tengah 

menggelar aksi di Gedung DPR Senayan, 

Jakarta.

Alumni Elektro Institut Teknologi Bandung 

(ITB) tahun 1973 ini memulai usahanya 

tidak langsung menjadi bos di Meta Epsi 

Drilling Company (Medco). Sebelum tahun 

1980-an, awalnya ia cuma sebagai 

kontraktor instalasi listrik door to door. 

Selanjutnya memulai proyek pemasangan 

pipa secara kecil-kecilan. Begitu ada 

proyek yang berdiameter besar, hal itu 

bukan porsi pengusaha lokal, melainkan 

pengusaha asing. Jadi, setiap Pertamina 

melakukan tender untuk pemasangan 

pipa besar, maka perusahaan asing yang 

menang karena untuk pipeline butuh 

peralatan berat. Peralatan itu umumnya 

hanya dimiliki oleh perusahaan asing.

Kondisi itu membuatnya berpikir, sebaiknya 

pengusaha lokal pun diberi kesempatan 

atau dibantu untuk bisa menangani 

pemasangan pipa besar dan tidak hanya 

diberi pekerjaan yang kecil-kecil. Tahun 

1981 ia memberanikan diri untuk mulai 

masuk proyek pipanisasi yang berdiameter 

besar. Untuk pekerjaan itu, ia bekerja sama 

dengan perusahaan asing. Deal-nya, 

bila satu proyek selesai, bagi hasilnya 

adalah peralatan itu. Mitra setuju, proyek pun

 selesai. Sejak itu dengan alat tersebut ia 

mencari proyek ke mana-mana.

Selain menggandeng mitra asing, 

dukungan dan proteksi dari pemerintah 

amat diperlukan. Tidak mungkin 

pengusaha lokal yang baru berdiri dan 

tidak memiliki pengalaman dapat tiba-tiba 

bersaing dengan perusahaan asing yang 

berpengalaman di bidang perminyakan 

sela puluhan tahun. Menggandeng mitra 

luar dan dukungan pemerintah itu 

merupakan cara pengusaha lokal bisa 

membuka pintu ke bidang bisnis yang 

lebih luas. Dengan begitu, persaingan 

dengan perusahaan asing bisa dilakukan. 

Semuanya dimulai dari tahapan 

membiasakan pengusaha lokal 

mengerjakan proyek besar. 

Contoh yang dialaminya dengan bendera 

usaha Medco tejadi pada tahun 1979-1980 

ketika terjadi oil boom, Sekretariat Negara 

mengambil inisiatif untuk membangun 

kilang minyak karena ada tambahan 

anggaran. Pada saat itu, pemerintah 

berkeinginan untuk menyelipkan unsur 

pembinaan bagi pengusaha lokal, 

termasuk Medco. Saat itu, dalam 

pembangunan Kilang Cilacap, Medco 

dikawinkan dengan satu perusahaan 

asal Amerika Serikat. Akhirnya, Medco yang 

tidak tahu apa-apa tentang pemasangan 

pipa, menjadi mengerti.

Demikian juga saat memulai usaha 

pengeboran minyak tahun 1981, juga tak 

lepas dari bantuan pemerintah. 

Menurut Arifin, tahun itulah titik awal 

Medco menjadi besar. Pada waktu itu, 

ia memiliki kedekatan dengan Dirjen 

Migas Wiharso yang menginginkan ada 

pengusaha lokal dalam proyek jasa 

pengeboran. Kebetulan ada penyertaan 

modal pemerintah ke Pertamina, yang 

mau melakukan pengeboran gas 

di Sumatera Selatan. 

Pemerintah mendorongnya untuk 

ikut tender, meskipun tidak punya 

peralatan ngebor. Pemerintah memanggil 

perusahaan asing yang berpeluang 

menang diminta untuk menyewakan alat, 

atau memakai orang-orang Medco sebagai 

mitra. Tujuan pemerintah waktu itu adalah 

untuk membesarkan pengusaha lokal. 

Namun, tanggapan dari perusahaan 

asing itu membuat Pak Wiharso 

tersingung dan batal. Lalu Pak Wiharso 

memintanya menggarap proyek itu 

sendirian. Arifin sama sekali tidak percaya 

dengan keputusan itu karena ia tidak 

memiliki pengalaman melakukan pengeboran.

Hasilnya, ia kelabakan karena proyek yang 

ditenderkan tahun 1979 sudah harus mulai 

dikerjakan pada tahun 1980. Dengan 

perasaan yakin, ia pun terima tantangan itu. 

Tahap awal ia instruksikan staf yang 

memiliki kemampuan bahasa Inggris untuk 

menjajaki pusat penjualan peralatan 

pengeboran di AS. Baru setelah ada 

kepastian dan diketahui harganya, ia 

terbang dari Jakarta ke Houston, AS. 

Perjalanan itu merupakan pengalaman 

pertamanya ke AS. Bermodal "bahasa 

Inggris Tarzan" dan uang 300.000 dollar AS, 

ia melakukan deal dengan pemilik barang. 

Hasilnya, deal berangsung buruk.

Penjual barang meminta dalam waktu dua 

minggu barang seharga 4 juta dollar AS 

sudah dibayar, kalau tidak maka uang muka 

300.000 dollar AS hangus. Ia terpaksa 

menerima syarat itu karena posisi 

tawarnya yang jelek. Setelah itu ia langsung 

terbang ke Indonesia. Saking panjangnya 

perjalanan dengan tiket ekonomi, tiba di 

Indonesia langsung sakit. Namun, dengan 

kondisi yang berat ia berusaha menemui 

Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, 

lalu ke Pertamina.

Cara itu merupakan langkah terakhir yang 

harus dilakukan karena ia masih merupakan 

pengusaha "bayi". Beruntung, 

Pak Piet Haryono dan Pak Wiharso 

memberikan rekomendasi, Medco patut 

dibantu. Dana pun cair di ambang batas 

perjanjian. Proyek pun bisa berjalan sesuai 

waktu yang ditentukan pemerintah.

Terhadap bantuan yang diberikan 

pemerintah itu, Arifin menilai sangat positif 

agar pengusaha lokal mampu bersaing. 

Namun, tetap harus dilakukan secara betul 

karena kalau tidak bisa, jadi salah arah. 

Di sinilah sulitnya, kadang proteksi itu 

memberikan hasil yang sebaliknya. 

Mumpung dikasih proteksi, pengusaha 

malah menjadi manja.

Setelah merintis usaha tahun 80-an, 

Medco memulai kejayaannya pada tahun 

1990. Sebelum tahun 1990 Medco selalu 

bekerja sama dengan pihak ketiga dan 

untuk masuk ke sana bukan hanya 

masalah konsistensi ketekunan dan 

normatif, tetapi juga urusan garis tangan 

sebagai penentu. Sebab, untuk memburu 

satu sumur minyak bukan urusan ribuan 

dollar AS, tetapi jutaan dollar AS dan itu 

pun belum tentu ketemu minyaknya. 

Namun, keinginan untuk bisa mandiri 

tetap ada, maka tahun 1990 untuk pertama 

kali Arifin membeli sumur minyak 

di Tarakan, Kalimantan Timur, seharga 

13 juta dollar AS. Ladang itu mampu 

berproduksi 4.000 barrel per hari (bph). 

Tahun 1995, beli lagi sumur minyak tertua 

PT Stanvac Indonesia milik ExxonMobil, 

yang sampai saat ini total produksi yang 

dimiliki Medco mencapai 80.000 bph.

Barangkali inilah prestasi paling gemilang 

dari Arifin dan perusahaannya, Meta Epsi 

Drilling Company (Medco). Pembelian 

Stanvac dimenangkan melalui tender yang 

kemudian namanya diubah menjadi Expan. 

Dengan pembelian itu, PT Stanvac tidak lagi 

dikuasai orang asing sebab perusahaan 

minyak tertua di Indonesia itu sudah dimiliki 

sepenuhnya oleh Medco.

Keberhasilan itu konon karena ada unsur 

tekanan dari pemerintah. Atas isu tersebut, 

Arifin membeberkan bahwa ia membeli 

perusahaan minyak itu melalui tender 

intemasional. Untuk bertemu langsung 

dengan orangnya saja tidak bisa. 

Baru setelah selesai pembelian, mereka 

bisa benar-benar bertemu. Ia membelinya 

secara langsung. Waktu itu cadangannya 

cuma 20 juta. Kemudian tahun 1996 

produksi digenjot. Hasilnya, satu lapangan 

saja bisa mendapatkan 320 juta barel minyak.

Sukses di bidang perminyakan ternyata 

membuat Arifin berpikir lain masih dalam 

sektor tambang. Kenapa orang lokal tidak 

bisa berjaya di gas, seperti halnya di minyak. 

Padahal Indonesia kan salah satu produsen 

gas terbesar di dunia dan banyak industri

 yang berteriak kekurangan gas? Pernyaan 

inilah yang kerap membuatnya gundah. 

Jika kita lihat pada satu sisi, Indonesia 

menempati posisi nomor satu di dunia 

dalam ekspor LNG karena cadangan gas 

jauh lebih banyak dari minyak. Kini, 

cadangan sudah mencapai 170 triliun kaki 

kubik (TCF). Jika cadangan itu diproduksi, 

sampai 50 tahun pun tidak akan habis.

Gas itu ada di luar Pulau Jawa, tetapi tetap 

harus harus dibawa ke Pulau Jawa karena 

berapa pun harganya tetap menarik. 

Misalnya PLN, jika membeli gas harganya 

hanya 3 dollar per million metric british 

thermal unit (MMBTU) sudah sangat mewah. 

Namun, kalau disetarakan dengan BBM 

sama dengan 18 dollar AS per barrel. 

Harga itu sangat murah dibandingkan 

harga BBM yang harus dibayar PLN 

sebesar 30 dollar AS per barrel. 

Namun, kembali lagi, kenapa gas tidak ada

 di Pulau Jawa, ini masalah kebijakan 

pemerintah. Jadi, mestinya Bappenas atau 

Menteri bidang Ekuin sama memikirkan, 

apakah terus bergantung minyak yang 

harganya 30 dollar AS per barrel. Medco 

menjual ke Pusri 1,8 dollar AS ditambah 

ongkos pipa 0,5 sen dollar, sudah bisa untung.

Inilah yang ia anggap kebijakan itu keliru. 

Demikian juga proyek yang dibangun oleh 

PT Perusahaan Gas Negara, yang berhasil 

menyambung pipa gas ke Singapura, 

setelah itu membangun pipa ke Pulau 

Jawa adalah kebijakan yang salah. Gas di 

Sumsel sebenarnya tak banyak lagi, jadi 

seharusnya dibawa ke Jawa saja. Tetapi, 

barangkali pemeritah memiliki 

pertimbangan harga di Singapura yang 

barangkali lebih baik.

Sukses di dunia bisnis membuatnya ikut 

berpetualang ke dunia politik. Awalnya ia 

melakukan pertemuan di Hotel Radisson 

Yogyakarta tahun 1997. Sebenarnya itu 

adalah pertemuan atau diskusi biasa. 

Namun, efeknya luar biasa, khususnya 

buat Arifin. Ia dituduh berupaya 

menggagalkan Sidang Umum MPR yang 

akan mengesahkan Soeharto menjadi 

Presiden ketujuh kalinya.

Ketika aksi mahasiswa semakin 

memanas, Arifin memberi bantuan 

konsumsi kepada para demonstran yang 

melakukan aksi di Gedung DPR. Ribuan 

kotak makanan dikirim. Tak heran jika 

kemudian muncul opini bahwa Arifin adalah 

tokoh di belakang aksi atau cukong para 

mahasiswa. Namun, Arifin tahu bahwa ia 

tidak sendiri. Gerakan reformasi merupakan 

suratan untuk memperbaiki keadaan.

Cobaan terhadap langkahnya di dunia 

politik masih berlanjut. Di era Presiden 

BJ Habibie, Arifin Panigoro kembali dijerat 

dengan tuduhan pidana korupsi 

penyalahgunaan commercial paper senilai 

lebih dari Rp 1,8 triliun. Pada waktu itu, 

sejumlah kalangan percaya dijeratnya 

Arifin karena kedekatannya dengan 

gerakan mahasiswa. Bahkan pada masa 

pemerintahan Megawati, Arifin kembali 

dicoba untuk dijerat lewat perkara di 

kejaksaan. Sejak awal, dirinya yakin hanya 

dikerjain karena masih banyak pihak yang 

tidak senang dengan aktivitas 

politik yang digeluti.

Pengalamannya sebagai pengusaha 

membuat dia tidak kaget dengan praktik 

politik karena di dalamnya ada aktivitas 

melobi atau menggarap, juga money 

politics. Baginya, hari-hari uang adalah 

urusannya. Dari permulaan bekerja 

sebagai pengusaha, ia tidak pernah buat 

kesepakatan dengan fasilitas 

yang diperolehnya.

Demikian juga dengan urusan politik yang 

juga bagian dari kompromi lintas fraksi, 

kesepakatan semua kekuatan. 

Hal-hal begitu tidak selalu pakai uang, 

cukup pengertian bahwa kita punya 

sesuatu yang lebih besar, mari kita jalani 

sama-sama. Namun, perjalanan tidak 

selalu mulus, godaan banyak. Apalagi 

kekuatan politik sekarang sesudah 

zaman Soeharto, relatif pemainnya 

baru semua.

Meskipun terbiasa bermain dengan uang, 

namun Arifin mengaku memiliki batasan 

dalam memainkan uangnya. Sayangnya, 

proses politik atau proses pengambilan 

keputusan politik, ternyata uang yang 

berbicara. Padahal, meskipun ia seorang 

pebisnis, tetapi ia mau bisnis tanpa uang. 

Meskipun ia mengaku, cara bisnisnya 

memang tidak sebersih di AS. Di negara itu, 

mentraktir makan di atas 100 dollar AS 

sudah termasuk kategori sogokan. 

Ia tidak begitu amat, tetapi mendambakan 

good government and corporate governance, 

supaya bisa membuat bangsa ini ke depan 

lebih baik.

Ia berhitung, hari ini, uang dihabiskan untuk 

apa saja. Ia mau menghitung berapa total 

uang yang dikeluarkan dalam pemilihan 

kepala daerah di Indonesia, yang akan 

membebani APBD setiap daerah. 

Jangan lupa, itu uang rakyat dari pajak. 

Kalau pemimpinnya main, tentu 

menggelembungkan dana proyek, 

tentu bawahan juga ikut ambil bagian. 

Dengan demikian korupsi akibat 

kedudukan bisa menimbulkan 

efek berantai, jika dana diselewengkan 

Rp 1 triliun, uang rakyat yang bakal hilang 

sekitar Rp 10 triliun untuk pemilihan 

kepala daerah.

Perkenalannya lebih mendalam dengan 

dunia politik adalah ketika partai-partai 

baru bermunculan tahun 1998-1999 

setelah lengsernya Soeharto dari kursi 

presiden. Pada awalnya, Arifin menjalin 

hubungan dengan berbagai tokoh politik, 

baik tokoh masyarakat yan sudah lama 

dikenal maupun tokoh yang baru muncul. 

Saat deklarasi partai baru dilangsungkan, 

Arifin kerap menghadirinya. Namun, 

akhirnya pilihannya jatuh ke PDI Perjuangan 

yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. 

Bersama PDIP, Arifin pun melenggang 

menuju Senayan sebagai anggota DPR/MPR.

Untuk kategori pemain baru di dunia politik, 

sebenarnya karir politik Arifin terbailang

 bagus. Ia bisa duduk di jajaran DPP partai 

peraih suara terbanyak dalam pemilu. 

Ia pernah memimpin lintas fraksi, 

juga menjadi Ketua Fraksi PDIP MPR. 

Namun, dunia politik memang seperti 

cuaca yang cepat berubah. Arifin yang 

kerap dikenal sebagai anak “indekos” 

di partai berlambang banteng merah 

gemuk itu dianggap sudah kurang loyal 

kepada partainya dan mulai memihak 

lawan partai politiknya bernaung. 

Arifin Panigoro yang dulu dianggap 

sebagai inspirator pembangunan jalan 

mulus Presiden Megawati menuju kursi 

kepresidenan, kini dianggap sebagai anak 

yang nakal. Isu pun merebak bahwa Arifin 

bakal dipecat. Namun, hingga saat ini, isu 

tersebut tidak berbuah menjadi kenyataan.

Terhadap isu tersebut, ia berpendapat 

kalau dirinya dikeluarkan, sepertinya ia 

harus membuat acara perpisahan dengan 

teman-teman. Tetapi, sebetulnya ia sudah 

memikirkan untuk keluar. Menurutnya, 

kalau dikeluarkan dirinya akan lebih senang. 

Seperti orang kerja, kalau berhenti tidak 

dapat pesangon, kalau diberhentikan 

malah dapat pesangon.

Meskipun siap untuk keluar, namun 

mengenai masa depan politiknya masih 

belum jelas, dan ia sendiri masih belum 

bisa mengira-ngira ke mana akan berlabuh. 

Hal itu terjadi karena dari tahun 1998 ia 

termasuk non-partisan, meskipun 

belakangan bergabung ke partai. Awalnya, 

ia datang pada setiap acara peresmian 

partai baru, sampai akhirnya bergabung 

dengan PDIP.

Arifin menganggap dirinya sebagai seorang 

oportunis yang iseng-iseng. Atau ia hanya 

ingin ada lima tahun periode yang lain, 

tidak hanya menjadi seorang pengusaha.

Tetapi yang pasti, hematnya, konyol jika 

berhenti lalu serta-merta melawan PDIP, 

apalagi mau menggulingkan Megawati.

Jika benar-benar mundur dari dunia politik, 

kemungkinan ia akan relaksasi dan 

bermain golf di Paris atau mencari sekolah 

khusus untuk mereka yang sudah berumur 

di kota yang mempunyai makanan yang 

enak-enak. 

Mungkin enam bulan istirahat dulu.

Ia juga termasuk orang yang respek 

terhadap cendekiawan muslim 

Noercholish Madjid (Cak Nur). Menurutnya, 

Cak Nur itu bukan politikus, tetapi berminat 

jadi presiden. Ketika pertama kali 

mengemukakan minatnya jadi presiden 

Arifin termasuk orang yang awal-awal 

mendatangi dan bertanya, ternyata 

jawabannya memang mau. Pikirnya, 

siapa pun ini, dia dari unsur yang berbeda 

dibandingkan politikus yang lain. Dengan 

demikian bisa menjadi ukuran moral, 

sebab moral juga harus terukur. 

Paling tidak, politikus ada malu-malu sedikit. 

Jadi, pencalonan Cak Nur, sebenarnya 

dapat meningkatkan kualitas pertandingan.

Mengenai kehidupan keluarganya, 

suami dari Raisis A Panigoro cukup bahagia. 

Anak-anaknya sudah besar, bahkan yang 

tertua Maera Hanafiah sudah menikah dan 

sebentar lagi dikarunia anak kedua. 

Adapun yang bungsu Yaser Mairi sedang 

menambah pendidikan di Singapura pada 

bidang IT. Sekarang, meskipun agak telat, 

ia sadar, kalau dirinya kurang memberikan 

perhatian kepada anak-anak, karena jam 

kerja yang ngawur. Sekarang, 

sejak sekolah di luar negeri, anak-anaknya 

seakan-akan lupa dengan orang tua.

Meskipun anak-anak itu bersekolah di luar 

negeri, namun tidak ada yang secara 

khusus disiapkan menggantikannya.

 Anak pertamanya seorang ibu rumah 

tangga, anak kedua tidak dipersiapkan 

untuk itu. Prinsipnya, Medco bukan 

perusahaan keluarga, jadi sebaiknya 

dijalankan oleh profesional. Kebetulan, 

adiknya orang minyak. Jadi, Hilmi Panigoro 

duduk Medco.

Ia juga tidak akan memaksakan anak-anak 

untuk meneruskan usaha orang tuanya. 

Jika kapasitasnya sudah dipenuhi, 

silakan saja kalau mau meneruskan. 

Ia mengaku tidak takut jika 

perusahaannya dipegang oleh orang lain, 

toh semua aset, 

cadangan tidak ke mana-mana.

Meskipun kini sudah menjadi "raja minyak", 

suami dari Raisis A Panigoro ini mengaku, 

kaya itu relatif. Dia mengaku tak pernah 

menghitung, apakah dirinya kaya atau tidak, 

sebab semua hidup yang dijalani terus 

menggelinding. Baginya, disebut kaya itu 

relatif, kalau di Indonesia, seperti dirinya 

memang sudah menonjol. Sebagai orang 

yang beberapa kali dicekal untuk bepergian 

ke luar negeri, ia pun bertanya 

untuk apa kekayaan itu.

Sebagai orang yang romantis, ia mengaku 

merasa benar-benar kaya, kalau berada 

dalam satu konser musik yang benar-benar 

disukai. Seperti saat ini, setelah bisa 

menikmati alunan gamelan Jawa, maka 

setiap mendengar musik Jawa itu 

sebelum tidur, dia merasa kaya. Jadi, 

baginya kaya cukup sederhana, bukan 

harta melimpah atau kekuasaan.

Arifin juga sadar, suatu saat akan pendiun 

sebagai orang perminyakan. Namun, 

tidak berarti ia akan berdiam diri. Ia

 merencanakan untuk memfokuskan ke

 Medco yang lain yaitu di bidang agrobisnis. 

Sekarang ini orang sedang banyak bicara 

tentang pertanian. Masalah minyak goreng 

yang masih kurang kelapa sawitnya. 

Mungkin itu adalah salah satu pelabuhan 

yang akan ditujunya kemudian.

Tidak ada komentar: