Minggu, 02 November 2008

BOB SADINO


  
 ► e-ti/tsl 
 Nama :
Bob Sadino
Lahir :
Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933
Agama :
Islam

Pendidikan :
-SD, Yogyakarta (1947)
-SMP, Jakarta (1950)
-SMA, Jakarta (1953)

Karir :
-Karyawan Unilever (1954-1955)
-Karyawan Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg (1950-1967)
-Pemilik Tunggal Kem Chicks (supermarket) (1969-sekarang)
-Dirut PT Boga Catur Rata
-PT Kem Foods (pabrik sosis dan ham)
-PT Kem Farms (kebun sayur)

Alamat Rumah:
Jalan Al Ibadah II/12, Kemang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Telp: 793981

Alamat Kantor :
Kem Chicks Jalan Bangka Raya 86, Jakarta Selatan Telp: 793618


 
 
   

Pengusaha Berdinas 

Celana Pendek


Pria berpakaian ''dinas'' celana pendek 

jin dan kemeja lengan pendek yang 

ujung lengannya tidak dijahit, ini adalah 

salah satu sosok entrepreneur sukses 

yang memulai usahanya benar-benar 

dari bawah dan bukan berasal dari 

keluarga wirausaha. Pendiri dan 

pemilik tunggal Kem Chicks 

(supermarket), ini mantan sopir taksi dan 

karyawan Unilever yang kemudian menjadi 

pengusaha sukses.


Titik balik yang getir menimpa keluarga 

Bob Sadino. Bob rindu pulang kampung 

setelah merantau sembilan tahun 

di Amsterdam, Belanda dan Hamburg, 

Jerman, sejak tahun 1958. Ia membawa 

pulang istrinya, mengajaknya hidup serba 

kekurangan. Padahal mereka tadinya hidup 

mapan dengan gaji yang cukup besar.

Sekembalinya di tanah air, Bob bertekad 

tidak ingin lagi jadi karyawan yang diperintah 

atasan. Karena itu ia harus kerja apa saja 

untuk menghidupi diri sendiri dan istrinya. 

Ia pernah jadi sopir taksi. Mobilnya tabrakan 

dan hancur. Lantas beralih jadi kuli bangunan 

dengan upah harian Rp 100. 

Suatu hari, temannya menyarankan Bob 

memelihara ayam untuk melawan depresi 

yang dialaminya. Bob tertarik. Ketika 

beternak ayam itulah muncul inspirasi 

berwirausaha. Bob memperhatikan 

kehidupan ayam-ayam ternaknya. 

Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang 

untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa. 

Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, 

setiap hari menjual beberapa kilogram telor. 

Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan 

istrinya memiliki banyak langganan, 

terutama orang asing, karena mereka fasih 

berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal 

di kawasan Kemang, Jakarta, di mana 

terdapat banyak menetap orang asing.

Tidak jarang pasangan tersebut dimaki 

pelanggan, babu orang asing sekalipun. 

Namun mereka mengaca pada diri sendiri, 

memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis 

pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal 

menjadi pelayan. Setelah itu, lama kelamaan 

Bob yang berambut perak, menjadi pemilik 

tunggal super market (pasar swalayan) 

Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana 

dengan kemeja lengan pendek dan celana 

pendek.

Bisnis pasar swalayan Bob berkembang 

pesat, merambah ke agribisnis, khususnya 

holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur 

mayur untuk konsumsi orang asing 

di Indonesia. Karena itu ia juga menjalin 

kerjasama dengan para petani di 

beberapa daerah.

Bob percaya bahwa setiap langkah sukses 

selalu diawali kegagalan demi kegagalan. 

Perjalanan wirausaha tidak semulus yang 

dikira. Ia dan istrinya sering jungkir balik. 

Baginya uang bukan yang nomor satu. 

Yang penting kemauan, komitmen, 

berani mencari dan menangkap peluang.

Di saat melakukan sesuatu pikiran 

seseorang berkembang, rencana tidak 

harus selalu baku dan kaku, yang ada pada 

diri seseorang adalah pengembangan dari 

apa yang telah ia lakukan. Kelemahan 

banyak orang, terlalu banyak mikir untuk 

membuat rencana sehingga ia tidak 

segera melangkah. “Yang paling penting 

tindakan,” kata Bob. 

Keberhasilan Bob tidak terlepas dari 

ketidaktahuannya sehingga ia langsung 

terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, 

Bob trampil dan menguasai bidangnya. 

Proses keberhasilan Bob berbeda dengan 

kelaziman, mestinya dimulai dari ilmu, 

kemudian praktik, lalu menjadi trampil 

dan profesional.
Menurut Bob, banyak orang yang memulai 

dari ilmu, berpikir dan bertindak serba 

canggih, arogan, karena merasa memiliki 

ilmu yang melebihi orang lain.

Sedangkan Bob selalu luwes terhadap 

pelanggan, mau mendengarkan saran dan 

keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti 

itu Bob meraih simpati pelanggan dan 

mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, 

kepuasan pelanggan akan menciptakan 

kepuasan diri sendiri. Karena itu ia selalu 

berusaha melayani pelanggan sebaik-baiknya.

Bob menempatkan perusahaannya seperti 

sebuah keluarga. Semua anggota keluarga 

Kem Chicks harus saling menghargai, tidak 

ada yang utama, semuanya punya fungsi 

dan kekuatan.

Anak Guru

Kembali ke tanah air tahun 1967, setelah 

bertahun-tahun di Eropa dengan pekerjaan 

terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd 

di Amsterdam dan Hamburg, Bob, anak 

bungsu dari lima bersaudara, hanya punya 

satu tekad, bekerja mandiri. Ayahnya, Sadino, 

pria Solo yang jadi guru kepala di SMP 

dan SMA Tanjungkarang, meninggal dunia 

ketika Bob berusia 19.

Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan 

Mercedes buatan tahun 1960-an. Satu ia 

jual untuk membeli sebidang tanah 

di Kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu, 

kawasan Kemang sepi, masih terhampar 

sawah dan kebun. Sedangkan mobil satunya 

lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya.

Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, 

bukan uang yang kembali, tetapi berita 

kecelakaan yang menghancurkan mobilnya.

 ''Hati saya ikut hancur,'' kata Bob. 

Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas 

bekerja jadi kuli bangunan. Padahal, kalau 

ia mau, istrinya, Soelami Soejoed, yang 

berpengalaman sebagai sekretaris di luar 

negeri, bisa menyelamatkan keadaan. 

Tetapi, Bob bersikeras, ''Sayalah kepala 

keluarga. Saya yang harus mencari nafkah.''

Untuk menenangkan pikiran, Bob menerima 

pemberian 50 ekor ayam ras dari kenalannya, 

Sri Mulyono Herlambang. Dari sini Bob 

menanjak: Ia berhasil menjadi pemilik 

tunggal Kem Chicks dan pengusaha 

perladangan sayur sistem hidroponik. 

Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan 

daging di Pulogadung, dan sebuah 

''warung'' shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, 

Jakarta. Catatan awal 1985 menunjukkan, 

rata-rata per bulan perusahaan Bob 

menjual 40 sampai 50 ton daging segar, 

60 sampai 70 ton daging olahan, dan 100 

ton sayuran segar.

''Saya hidup dari fantasi,'' kata Bob 

menggambarkan keberhasilan usahanya. 

Ayah dua anak ini lalu memberi contoh satu 

hasil fantasinya, bisa menjual kangkung 

Rp 1.000 per kilogram. ''Di mana pun tidak 

ada orang jual kangkung dengan harga 

segitu,'' kata Bob. 

Om Bob, panggilan akrab bagi anak 

buahnya, tidak mau bergerak di luar bisnis 

makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya 

sekarang tidak ada habis-habisnya. 

Karena itu ia tak ingin berkhayal yang 

macam-macam.

Haji yang berpenampilan nyentrik ini, 

penggemar berat musik klasik dan jazz. 

Saat-saat yang paling indah baginya, 

ketika shalat bersama istri dan dua anaknya.

Tidak ada komentar: