Minggu, 02 November 2008

Ir. CIPUTRA


 
Nama
Ir. Ciputra
Lahir
o
Pekerjaan
Pengusaha
Pendidikan
 
Hobi
 

Kegiatan lain
Ketua Umum Ayub


Si Pengembang yang 

Menggeliat Kembali


Keran KPR yang mulai mengucur, 

membuat aktivitas PT Ciputra 

Development terdengar lagi. 

Kelompok usaha ini semakin 

giat beriklan. Akankah Ciputra 

segera berjaya kembali? Akibat 

krisis ekonomi yang melanda 

negeri ini, sebagaimana 

kebanyakan pengusaha properti 

lainnya, Ciputra pun harus 

melewati masa krisis dengan 

kepahitan. Padahal, serangkaian 

langkah penghematan telah 

dilakukan. Grup Ciputa (GC),

 misalnya, terpaksa harus 

memangkas 7 ribu karyawannya, 

dan yang tersisa cuma sekitar 35%.

Lantas, semua departemen 

perencanaan di masing-masing 

anak perusahaan segera ditutup 

dan digantikan satu design center 

yang bertugas memberikan servis 

desain kepada seluruh proyek.

 Jenjang komando 9 tingkat pun 

dipotong menjadi 5. Akibatnya,

 banyak manajer kehilangan 

pekerjaan. Lebih pahit lagi: 

kantor pusat GC yang semula berada 

di Gedung Jaya, Thamrin, Jakarta 

Pusat, terpaksa pindah ke Jl. Satrio

 -- kompleks perkantoran milik GC. 

Paling tidak, dengan cara 

semacam itu, GC bisa menghemat 

Rp 4 miliar/tahun. 


Sementara Harun dan tim 

keuangannya -- setelah susut 

menjadi 7 orang dan 

gajinya dipotong hingga 40% -- 

hengkang ke salah satu lantai Hotel 

Ciputra, Grogol, Jakarta Barat. 

Di tempat itu, mereka menyewa 

beberapa ruangan. Selebihnya, 

kabar yang menjadi rahasia umum: 

utang GC macet total. 

Menurut Harun, para petinggi CD 

waktu itu sadar betul kondisi yang 

ada tidak bakalan berubah secepat 

yang dibayangkan. Soalnya, 

berlalunya krisis moneter yang 

belakangan bermetamorfosis 

menjadi krisis multidimensional

 sejatinya berada di luar kendali 

mereka. Celah yang masih terbuka 

hanyalah konsolidasi internal dan 

restrukturisasi perusahaan. 

Maka, selain memangkas biaya 

operasional secara drastis, 

CD pun segera menerapkan 

strategi pemasaran baru: 

menjual kapling siap bangun. 

Kata Harun, selain CD 

kala itu hanya menyimpan sedikit 

stok rumah siap huni, perubahan 

strategi pemasaran ini juga 

dilakukan untuk membidik konsumen 

berkantong tebal. Maklumlah, 

mengharapkan KPR ibarat pungguk 

merindukan bulan. Adapun yang 

tersisa, ya itu tadi, pasar kalangan 

kelas menengah-atas. Mereka 

biasanya lebih suka membeli 

kapling karena dapat menentukan 

sendiri desain rumahnya. 


Keuntungan lain menjual kapling tanah: 

berkurangnya biaya operasional. 

Masih menurut Harun, dengan 

menjual kapling siap bangun, 

CD cuma berkewajiban menyediakan 

infrastruktur seperti telepon, air, listrik 

dan jalan. Memang, ketimbang

 membangun rumah siap huni, 

biaya penyediaan infrastruktur relatif 

jauh lebih murah. Dalam 

perhitungan Harun, biaya yang 

dikeluarkan per m2-nya cuma 

Rp 90 ribu. 


Sementara itu, bila membangun 

rumah siap huni, CD mesti siap 

menerima kenyataan jika harga 

bahan-bahan bangunan meningkat 

pesat. Besi, misalnya. Setelah kurs 

rupiah terhadap US$, harganya 

naik 60%. Sementara semen dan 

keramik, masing-masing meningkat 

menjadi 40% dan 30%. Jadi,

 "Tak ada alasan tidak menerapkan 

strategi itu," ujar Harun. Kebijakan 

itu berlaku di Jakarta dan di Surabaya. 

Guna mendukung strategi di atas, 

program-program above the line 

juga tak luput dikoreksi. Hasilnya, 

dari monitoring yang dilakukan, 

para petinggi CD akhirnya 

berkesimpulan, mubazir bila beriklan 

gencar di masa krisis.

 "Seperti membunuh tikus dengan 

memakai bom," jelas Harun. Alhasil, 

pilihan kemudian jatuh pada 

penjualan langsung. Bahannya 

diolah dari database konsumen 

milik CD. Dan supaya lebih terarah, 

database diolah lewat pembentukan 

klub-klub penjualan, di Jakarta 

maupun Surabaya. 


Namun, apa daya, meski harga 

kapling siap bangun belum dinaikkan 

dan tim pemasaran bekerja sekeras 

mungkin, toh strategi itu tidak langsung 

membuahkan hasil yang memuaskan. 

Lebih dari Tiga bulan, konsumen yang 

tertarik dengan ratusan hektare tanah 

matang milik CD yang dijual dalam 

bentuk kapling siap bangun -- 

dari total 1.800 har landbank 

(tanah mentah) CD yang tersebar

 di Jakarta dan Surabaya -- bisa 

dihitung dengan jari.

Kata Harun, petinggi CD lagi-lagi 

sadar para pemilik uang 

sesungguhnya lebih memilih 

mendepositokan uangnya ketimbang 

membeli kaping siap bangun. Maka,

 "Tahun 1998 adalah tahun yang 

paling sulit yang pernah dilalui CD,

" kenangnya. Masalahnya, uang 

yang masuk selama setahun 

cuma Rp 40 miliar. 


Itulah nilai total hasil penjualan lima 

proyek perumahan di Jakarta dan 

Surabaya milik CD. Jelas, ketimbang 

tahun-tahun sebelumnya, saat kondisi 

ekonomi masih normal, kenyataan 

tersebut benar-benar menyakitkan. 

Sebelum krisis, dari satu proyek saja, 

CD bisa meraup uang sebanyak 

Rp 10 miliar/bulan. Artinya, 

angka Rp 40 miliar tersebut biasanya 

dicapai hanya dalam sebulan. 
Yang lebih menyesakkan, menurut 

sumber SWA, Pak Ci ikut-ikutan 

menambah beban psikologis 

pasukannya. Hampir setiap hari 

CEO GC itu uring-uringan tanpa 

sebab yang jelas. Seingatnya,waktu 

itu Pak Ci jarang bertanya kepada 

anak buahnya bagaimana 

sebenarnya kondisi di lapangan. 

"Ia malah seperti tak habis-

habisnya melakukan pressure 

kepada timnya," jelas si sumber. 


Dan lucunya lagi, bahkan di luar 

dugaan banyak orang -- sang sumber 

sendiri kaget luar biasa -- Pak Ci 

sampai-sampai "menodong" 

seorang pemuka agama agar jemaat 

gerejanya membeli kapling siap 

bangun di salah satu proyek 

perumahan CD. "Benar-benar tidak 

masuk akal," ungkap sumber. 

Benarkah? "Bohong. Kalau stres, 

siapa yang tidak stres waktu itu," 

bantah Harun. 

Untunglah, bersamaan turunnya 

suku bunga deposito di awal 1999, 

strategi itu mulai menampakkan 

hasil. Kecil memang, tapi, "Kami 

sudah mulai sibuk," ujar Harun. 

Ia menunjuk aktivitas penjualan 

kapling siap bangun, khususnya 

yang di Surabaya. "Di kota ini, 

penjualannya cukup bagus." 

Sayang, Harun tak bersedia 

menyebutkan nilai transaksi 

di Kota Buaya. Yang jelas, tidak 

seperti di Jakarta, jumlah item 

kapling siap bangun yang 

ditawarkan CD di Surabaya 

lumayan variatif. Dari segi

 luas contohnya, 1.200-2.000 m2 

dengan harga jual minimal: 

Rp 600 ribu/meter2. Selain itu, ada 

pula kapling golf -- posisinya 

berhadapan atau di sekitar 

lapangan golf. "Kapling jenis ini, 

sekalipun lebih mahal, tampak 

paling disukai," jelas Harun. 

Bagaimana dengan Jakarta? 

Kendati kapling yang dijual hanya 

berukuran 200-500 m2, angka 

penjualannya tidak sebagus 

di Surabaya. Dan kapling yang 

disukai konsumen kebanyakan 

yang berukuran 400 m2 seharga 

Rp 225-500 ribu/m2. Menurut Harun, 

hal itu terjadi karena tingkat 

persaingan di Jakarta lebih ketat 

ketimbang di Surabaya. Soalnya, 

"Ada banyak proyek serupa di sini,

" ujarnya. Dan, yang lebih penting, 

kapling golf bukanlah hal yang 

istimewa bagi banyak konsumen 

metropolitan. "Jadi, penawaran 

kami sama seperti yang lain. 

Karena itu pula, bisa jadi 

konsumen mencari yang 

lebih murah." 

Seperti yang sudah-sudah, tutur 

menantu Ciputra itu, kebutuhan 

konsumen di Jakarta sejatinya 

adalah rumah siap huni yang 

dilengkapi fasilitas KPR. Karena itu, 

bermodalkan pendapatan hasil 

penjualan kapling siap bangun 

plus tersedianya sarana KPR, CD 

pun mulai menggiatkan 

pembangunan rumah siap huni, 

di Citra Raya Tangerang, 

Citra Indah Jonggol, Citra Grand 

Cibubur ataupun Citra Cengkareng. 

Bersamaan waktunya, CD pun kembali 

rajin beriklan. Namun, tidak seperti 

tiga tahun lalu, kini belanja iklannya 

diatur ketat. Indikator pertama yang 

dihitung sebelum mengeluarkan 

uang untuk berpromosi di berbagai 

media cetak adalah jumlah total 

hari libur dalam setiap bulan. 

Yang jelas, sebulan CD beriklan tak 

lebih dari tiga kali. "Bukan apa-apa. 

Kami hanya ingin iklan itu bisa 

efektif mencapai sasaran," katanya. 

Ia menambahkan, klub-klub 

penjualan yang dulu sempat 

dibentuk tetap diteruskan. 

Hanya saja, lagi-lagi sayang, 

Harun mengaku tidak ingat persis 

jumlah uang yang masuk ke kocek 

CD setelah perusahaan properti yang 

dipimpinnya itu kembali rajin beriklan. 

Ia hanya mengatakan, "Cash flow 

kami cukup aman." Ditambah semakin 

membaiknya daya beli konsumen, 

Harun pun optimistis, CD dan GC 

bisa berkibar kembali. Namun, tentu 

saja, ia mengaku, 

"Tidak seperti dulu lagi."

Tidak ada komentar: